Thursday, October 1, 2015

Perlukah mengatur perdagangan daging anjing?


Ilustrasi anjing
Ilustrasi anjing

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, akhirnya mengurungkan niatnya membuat Peraturan Gubernur tentang Perdagangan Daging Anjing. "Capek saya nanti ada pergub tupai, kucing, tikus," kata Ahok.

Sebelumnya Ahok mewacanakan akan membuat regulasi soal perdagangan daging anjing di DKI. Alasannya, antara lain karena Jakarta termasuk pengonsumsi daging anjing. Ada 40.000 ekor daging anjing, masuk ke Jakarta setiap hari dari berbagai daerah.

Masalahnya daging anjing tersebut tak pernah diketahui kualitas kesehatannya. Dinas Kelautan, Peternakan, dan Ketahanan Pangan (DKPKP) DKI Jakarta, selama ini tak pernah melakukan pengawasan terhadap daging anjing.

Sebab Pergub yang ada sebelumnya hanya pengawasan terhadap daging sapi, kambing, ayam dan babi. Ahok khawatir, bila tanpa pengawasan, penyakit rabies bisa masuk ke Jakarta. Padahal ia ingin mempertahankan Jakarta sebagai daerah bebas rabies.

Jakarta dinyatakan bebas rabies sejak 2004.

Wacana Pergub tersebut, antara lain dimaksudkan untuk menjaga agar Jakarta tetap kalis dari penyakit rabies. Selain itu, Pemrov ingin memastikan agar daging apapun yang diperdagangkan dalam kondisi sehat.

Penolakan terhadap rencana Pergub daging anjing memang cukup santer. Baik dari ormas Islam, pribadi maupun komunitas pecinta binatang. Salah satu dalih penolakan, Pergub itu bisa dimaknai Pemrov DKI melegalisasi perdagangan daging anjing.

Apakah itu berarti bila rencana Pergub daging anjing dibatalkan, perdagangan daging anjing berarti illegal? Tak ada yang bisa memastikan. Karena memang tak ada aturan yang melarang perdagangan daging anjing.

Di Jakarta penjual masakan daging anjing gampang ditemui. Di lapo seberang gedung DPR RI, tersedia aneka masakan daging anjing. Mereka tak pernah kena razia.

Legalitas penjual daging anjing, secara formal, diakui oleh Mahkamah Konstitusi (MK) keberadaannya sama dengan penjual daging babi. Ini bisa dilihat dalam kasus uji materi UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi, tahun 2011.

Ketika itu, I Griawan Wijaya dan Bagus Putu Mantra, pedagang daging babi di Pasar Badung, Bali, serta Netty Retta Herawati Hutabarat, pedagang daging anjing di Jatiasih, Bekasi, antara lain menggugat Pasal 58 ayat 4 UU No. 18/2009.

Pasal itu menyebut: "Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal."

Penggugat menilai pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 27 dan 28. Selain itu juga mengancam mata pencariannya, mengingat mereka tak mungkin bisa memenuhi pasal tersebut, karena yang dijualnya memang barang yang haram.

Majelis hakim MK yang dipimpin Mohammad Mahfud MD, mengabulkan gugatan tersebut. Dalam keputusannya antara lain menyatakan:

Pasal 58 ayat (4) UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa "...wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal" dimaknai mewajibkan sertifikat halal bagi produk hewan yang memang tidak dihalalkan.

Sidang dan keputusan MK ini bisa memberi arti bahwa perdagangan daging anjing adalah legal. Karena pedagangnya punya kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat uji materi UU. Bila tak memiliki kedudukan hukum, bisa dipastikan MK akan menolak uji materi tersebut sejak gugatan didaftarkan.

Namun bukan berarti tertutup kemungkinan para pecinta binatang meminta pemerintah menyatakan perdagangan daging anjing itu ilegal. Banyak pintu yang menunjukkan penyediaan daging anjing tak sesuai dengan tatalaksana seperti diatur UU No. 18/2009.

UU tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan itu, membedakan binatang ternak dengan binatang piaraan. Binatang ternaklah yang diperuntukkan produksi pangan, bukan binatang piaraan.

UU tersebut juga mensyaratkan kesejahteraan hewan dalam penyembelihan hewan. Mulai dari kesehatan hewan yang dinyatakan oleh dokter hewan, pengandangan sebelum penyembelihan, sampai tidak boleh menyiksa atau menyakiti binatang dalam proses penyembelihan.

Padahal bukan rahasia, tidak semua daging anjing yang diperdagangkan adalah hasil penyembelihan di rumah potong hewan. Banyak di antaranya yang sengaja tidak dipotong, melainkan dibunuh dengan cara dipukul kepalanya, alias disiksa.

Sebaliknya, tak gampang juga bagi pemerintah untuk melarang penjualan daging anjing. Harus pula diingat, ada etnis tertentu di Indonesia yang menganggap mengonsumsi daging anjing adalah wajar.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Perlukah mengatur perdagangan daging anjing?

0 comments:

Post a Comment